Oleh: SUPRIYO GUNTORO
Saya beberapa kali mengikuti kunjungan Dr. Dadang Hermawan (Rektor ITB STIKOM BALI) ke beberapa desa di Bali. Ada dua hal yang perlu saya catat terkait dengan acara kunjungan tersebut. Pertama, dalam setiap kunjungannya ke komunitas petani di desa, Dr. Dadang selalu membawakan oleh-oleh untuk para petani berupa sarana produksi (DAPRODI) sesuai dengan kebutuhan para petani setempat, seperti probiotik untuk desa atau kampung yang banyak memelihara sapi. Juga ada bio pestisida untuk daerah-daerah yang tanamannya mengalami serangan hama dan penyakit, serta bibit tanaman yang mungkin belum dikenal atau dilupakan oleh para petani, seperti bibit sweet sorghum, ubi kayu gajah sirsak ratu, benih kelor, dan lainnya. Di balik oleh-oleh ini, tersampaikan pesan dari Dr. Dadang agar para petani terus semangat berkarya dengan menerapkan teknologi dan inovasi baru, sambil tetap mengikuti dinamika sosial dan pasar.
Kedua, di setiap tempat yang dikunjungi, di hadapan masyarakat petani di desa-desa, Dr. Dadang selalu mengkampanyekan pentingnya pendidikan bagi para orang tua, menginspirasi mereka untuk menyekolahkan putra-putrinya hingga ke Perguruan Tinggi. “Bapak-ibu, jangan puas hanya sampai Sekolah Menengah (SLTA) bagi putra-putri kita. Tetapi, upayakan agar mereka bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi, karena jenjang pendidikan akan membentuk masa depan mereka,” pesan Dr. Dadang kepada para petani. Terkait dengan pendidikan tinggi, Dr. Dadang juga menyoroti pentingnya penguasaan Teknologi Informasi atau teknologi digital. “Teknologi ini kini semakin berperan di segala lini kehidupan,” ungkap Dr. Dadang. Sebagai Rektor Institut Teknologi dan Bisnis STIKOM, Dr. Dadang juga menyampaikan ketersediaan peluang belajar di Perguruan Tinggi tersebut bagi calon mahasiswa yang kurang mampu, termasuk program beasiswa atau belajar sambil bekerja.
Mendengarkan penjelasan Dr. Dadang, wajah para petani dan pemuda yang hadir terlihat penuh semangat. Mereka merasa ada harapan di depan mereka. Saya teringat kunjungan ke Taiwan pada tahun 2018 bersama Dr. Frans Bambang Siswanto, di mana kami melihat perkembangan pertanian di sana. Saya kagum dengan kemajuan pertanian di negara tersebut. Taiwan memiliki tanah yang jauh kurang subur dibandingkan dengan Indonesia. Tanahnya berpasir, berkapur, berkerikil, dan keras. Namun, di Taiwan, saya tidak melihat adanya lahan tidur. Semua lahan di pedesaan dan pinggiran perkotaan tampak hijau dan ditanami tanaman. Berbeda dengan Indonesia, di mana semakin banyak lahan tidur di sekitar perkotaan dan pedesaan akibat terputusnya saluran irigasi. Pembangunan di lahan pertanian mengakibatkan saluran irigasi terputus, sehingga lahan tersebut menjadi tidak produktif.
Pemerintah Taiwan sangat memperhatikan dan mendukung sektor pertanian. Para pengembang yang membangun perumahan atau pusat perbelanjaan yang memotong saluran irigasi diwajibkan memperbaiki kembali saluran irigasi tersebut. Mereka harus memastikan agar air irigasi tetap mengalir ke seluruh petak sawah di bawah bangunan. Jika ada pengembang yang menghilangkan saluran irigasi, mereka akan menghadapi sanksi berat dan izin usaha mereka dapat dicabut.
Hal yang menarik bagi saya adalah perkembangan sub-sektor hortikultura (sayuran, buah-buahan musiman seperti strawberry, semangka, melon, dll., serta tanaman hias). Semua tanaman ini dikelola dalam “green house” dengan pemeliharaan yang menggunakan sistem komputerisasi. Sistem komputer dalam “greenhouse” ini dapat diakses melalui ponsel (Android), sehingga pemeliharaan tanaman dapat dilakukan dari jarak jauh.
Berbeda dengan Indonesia, di mana sebagian besar petani berusia di atas 45 tahun (sekitar 75 persen), Taiwan justru memiliki sekitar 75 persen petani yang berusia kurang dari 30 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Taiwan memiliki potensi besar dalam sektor pertanian. Sektor pertanian sangat menjanjikan, dan teknologi digital memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitasnya.